Di sisi lain, saya masih berpikir, alangkah membosankannya bekerja di tepat tersebut, suasana yang terlalu modern bagi saya. Sedangkan saya bukan orang yang begitu menyukai hal-hal yang terlalu modern. Tapi bukan berarti saya tidak mau terbuka dengan gadget modern ya.. Saya mengerti bahwa saya masih baru dan perlu banyak belajar. Namun, posisi yang saya dapatkan sekarang mau tidak mau memaksa saya untuk bisa menghadapi para customer dengan gaya hidupnya yang glamour dan bermewahmewah. Menyamankan dirinya dengan segala perabot yang mahal dan terdesain dengan apik. Menyempurnakan hidupnya dengan bangunan rumah yang megah. Hmm.. memang tugas saya sebagai seorang marketing (dan desainer nantinya) untuk memberikan pelayanan terbaik dengan desain yang apik kepada para customer. Tapi ternyata hal tersebut membuat saya menjadi dilemma dengan perasaan saya sendiri.
Saya masih tinggal di rumah kost di sekitar tempat saya kuliah dulu. Di Surabaya bagian timur. Perjalanan yang saya tempuh memang cukup jauh. Kurang lebih sekitar 40 menit. Saya masih berat meninggalkan rumah kost ini. Rumah kost yang terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Memang taruhannya saya harus menempuh perjalanan yang jauh dan cukup melelahkan bila terjebak macet. Perjalanan jauh inilah yang membuat saya merasa dilemma.
Di perjalanan, saya akan menemui beberapa perempatan lampu merah. Dan beberapa diantaranya, para pengendara akan disuguhi oleh tontonan yang tak mengenakan tentunya. Para pedagang koran yang menjajakan korannya tanpa alas kaki atau bahkan terhitung masih anakanak, pengemis dengan menggunakan kruk, atau bahkan sekeluarga tuna wisma yang menengadahkan tangannya di pinggir jalan, dan bermacammacam lainnya. Miris memang.
Seperti ketika saya melihat daftar para customer yang alamatnya ratarata berada si residence, apartment, dan beberapa perumahan elit di Surabaya, saya langsung ingat mereka yang di jalanan sana. Alangkah jauhnya perbandingannya. Sedangkan saya berada dalam perasaan yang dilematis harus berbuat apa. Saya sendiri tidak lahir dari keluarga berpunya, hanya saja saya beruntung berada di antara keluarga yang berkecukupan. Lamanya saya tinggal di Surabaya memberikan saya banyak pelajaran, tidak hanya dari kuliah, tapi juga dari kehidupan. Secara tidak langsung, kuliah saya membuat saya berpikir, bahwa ada langit di atas langit.
Saya memang sering bepergian meskipun tidak keluar kota, hanya sebatas Surabaya saja, tapi saya menikmati setiap perjalanan saya. Saya menikmati ketika saya harus berlarilari mengejar waktu untuk membeli sebuah Aquarell di sebuah toko yang cukup jauh dari kampus kemudian setiba di kost, saya langsung demam sedangkan tugas kuliah harus segera diselesaikan. Ketika saya harus berpuasa makan siang hanya untuk membeli pohon mungil untuk isi maket saya padahal saya lapar setengah mati. Saya harus segera mendapatkan kawat strimin tapi tibatiba ban motor saya bocor ditengahtengah macet. Dan masih banyak lainnya. Hahaha… saya jadi rindu. Kembali lagi ke topik. Saya menikmati perjalanan saya dimana saya akan menemukan berbagai macam orang dan polah tingkahnya di jalanan.
Suatu hari saya akan bepergian dengan seorang teman dan berhenti di perempatan lampu merah. Tibatiba ada seorang anak perempuan mendatangi kami sambil menengadahkan tangannya. “Mbak, nyuwun duwike mbak.. belum makan tiga hari mbak… sakwelase mbak…”. What??? Belum makan tiga hari tapi lu sempat ya beli gelang manikmanik lucu itu, trus baju lu bagus pula! Sapa sih nyokapnya?? Bego banget!!
“Hah?? Belum makan tiga hari??? Kamu kelas berapa?” kuladeni saja ini pengemis abalabal.
“Kelas tiga mbak..”
“Kamu gak belajar ta?”
“Sudah mbak..tadi..”
“Belajar apa kamu?? Kok sekarang main-main? Gak tidur ta?” kepo banget gue.
“enggak mbak… kan nyari uang…”
“lhoh? Lha ibukmu dimana lho? Kok kamu yang nyari uang??”
“disana mbak..” sambil nunjuk suatu arah
“berapa nilai matematikamu?” gue nanya apaan coba.
“Mbak…minta uang mbak..”
“Lhoh, aku tanya gak kamu jawab.. aku gak mau kasih uang”
“Ayo ta mbaak…minta uang…”
“Gak mau aku. Kamu lho gak belajar” apaan sih?
“Mbak…minta uang…” masih menengadah memelas. 20 detik lagi lampu hijau. Buruburu saya ambil selembar seceng di saku (‘seceng’, berasa terkontaminasi sama obrolan di kantor).
Kuberikan uang itu pada si anak perempuan, “jangan lupa rajin belajar ya.. biar pinter… biar nanti duitnya banyak..”. Si anak perempuan langsung berlalu.
Setiap perjalanan saya selalu mencoba melaju dalam kecepatan rendah dan menengok kanan dan kiri hanya untuk menikmati apaapa yang ada di sana. Mmm.. tidak selalu. Saya pernah membayangkan, bagaimana bila suatu saat nanti saya mencoba menjalani hidup seperti mereka. Mengamen di perempatan atau taman kota, mengemis di jalanan, atau bahkan tidur di trotoar, merasakan seperti apa yang mereka rasakan.
Saya adalah orang yang beruntung hingga saat ini. Sekurang apapun keadaan saya, masih banyak mereka yang lebih kurang beruntung daripada saya. Maka, hendaklah saya menjadi orang yang pandai bersyukur.
Saya ingat, seorang teman pernah bercerita, ia ingin sekali menjadi salah seorang tim sukarelawan korban bencana alam, atau tim sukarelawan apapun. Pikiran itu juga pernah hinggap di benak saya beberapa tahun lalu. Tapi sempat menghilang karena terlalu sibuk dengan tugas kuliah saya. Dan karena teman saya itu, pikiran itu muncul lagi. Hanya saja saya tidak tahu harus memulainya darimana. Menolong itu sangat menyenangkan, apalagi bila pertolongan itu disertai dengan ketulusan. Sedangkan menjadi seorang sukarelawan itu merupakan anugerah, tapi saya masih belum tahu saya harus berbuat apa.
Modern. Ah, Indonesia ini memang terlalu cantik untuk disandingkan dengan kata modern. Banyak nilainilai tradisional yang teramat indah dibandingkan dengan modern. Modern seolah membatasi ruang gerak budaya kita. Padahal budaya di Nusantara ini tak terkira nilainya. Dan ini yang membuat idealisme saya seperti berteriak. Padahal idealisme ini bisa jadi tidak berlaku dalam dunia kerja. Aahh… saya jadi ingin jalanjalan lagi, menikmati perjalanan, bertemu dengan banyak teman baru dan mengenal budaya baru. I hope it’s not only in a words, but I will did it, although I never know when it will be.
Sucikan tangan-tangan yang memegang erat harta
Terangi harinya dengan lembut mentari-Mu
Buka genggaman yang telah menjadi hak mereka
Saya memang bukan orang yang terlalu memikirkan ada atau tidak adanya uang, yang penting saya bahagia dengan cara saya. Saya terlalu belel untuk jadi orang glamour, tapi saya juga tidak bisa untuk menjadi gembel (saya ingat percakapan saya dan teman kantor saya kemaren, “Er, mana ya tempat cuci motor paling dekat daerah sini? Motorku ‘the-kill’ and ‘the-kumel’ nih..”. “iya kayak orangnya.. haha.. bercanda mbak..”. lah tapi emang bener). Saya pikir, saya lebih baik bekerja dulu. Bila ada kesempatan untuk berkuliah lagi, saya akan lanjutkan. Saya masih mencari peluang untuk menjadi mereka atau membantu mereka. Tapi saya memang harus bersabar menghadapi celotehan para klien di kantor saya. Sebenarnya hal tersebut membuat saya mual setiap kali bangun pagi. Tapi saya harus merasa baikbaik saja. Demi mengumpulkan uang untuk ide gila selanjutnya. Dan saya masih mencari partner.
*sedang memutar : Sheila On 7 : Khaylila's Song*
2 comments:
ntar cerita tentang kerjaan baru yang lainnya ya... good luck my dear... :*
ssiipp... Love you so much!
Hehe
Post a Comment